ASSALAMU 'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH, SELAMAT DATANG DI BERANDA GONTOR

Jumat, 21 Oktober 2011

Menghafal, Tradisi Sukses Pendidikan Nabi SAW

Menghafal merupakan tahap dasar pendidikan yang diterapkan Rasulullah SAW kepada para sahabat. Setiap kali menerima wahyu, beliau langsung menyuruh murid-muridnya itu untuk menghafalnya, selain ada beberapa orang yang ditugaskan untuk mencatat. Dengan pendekatan inilah otentisitas al-Qur’an terjaga dengan baik hingga dibukukan di masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Begitu juga Sunnah, karena sepanjang hidup Nabi SAW, tidak banyak Sunnah yang ditulis melainkan dihafal. Ini sesuai arahan langsung dari Nabi SAW, mengingat di masa itu pembelajaran para sahabat lebih terfokus kepada al-Qur’an.
Pada perkembangan berikutnya, transmisi Sunnah dilakukan melalui tradisi periwayatan hingga dibukukan secara sistematis pada masa Umar bin Abdul Aziz atau sesaat setelahnya. Di masa inilah lahir kitab-kitab hadis yang terus menjadi rujukan hingga saat ini. Sebut saja al-Muwaththa’ karya Imam Malik, al-Musnad karya Imam Ahmad,  al-Jami` ash-Shahih karya Imam Bukhari, ash-Shahih karya Imam Muslim, al-Mushannaf karya Imam Abdur Razzaq ash-Shan`ani, dll.

Hafalan, Analisa dan Praktik
Sebagai salah satu tahap pendidikan, menghafal tidak berdiri sendiri. Artinya, anak didik tidak hanya dibebani materi hafalan, tapi juga diarahkan untuk mengasah kemampuan analisis dan praktis. Tiga unsur pendidikan ini jelas terangkum dalam praktik pendidikan Rasulullah SAW ketika mengajarkan materi al-Qur’an kepada para sahabat. Ibnu Mas`ud, seorang sahabat senior, berkata, “Ketika kami belajar al-Qur’an, maka kami tidak akan melewati sepuluh ayat kecuali setelah menguasainya, mengerti dan mengamalkan isinya.”
Gabungan unsur hafalan, pendalaman, dan pengamalan inilah yang barangkali menyebabkan seorang Umar bin Khaththab, seperti diungkapkan Imam Malik dalam al-Muwaththa’, memerlukan waktu sekitar 12 tahun untuk ‘mengkhatamkan’ surah al-Baqarah, yang membuatnya begitu bahagia sehingga langsung menyembelih seekor unta sebagai ungkapan rasa syukur.
Umar bin Khaththab yang kemudian sukses sebagai salah satu pemimpin terbesar sepanjang masa, lahir dari tradisi pendidikan tersebut. Kisah sukses lainnya ditunjukkan oleh Zaid bin Tsabit. Sekretaris Nabi SAW ini hafal al-Qur’an di usia belasan tahun dan berhasil menguasai lebih dari empat bahasa internasional pasa masa itu; Ibrani, Romawi, Persia, dan Habasyah, untuk menunjang profesinya.

Melahirkan Ulama-Intelek
Model pendidikan Islam yang mengandalkan hafalan sebagai tahap dasar yang diterapkan kepada murid ini terus berlanjut di masa-masa kegemilangan peradaban Islam. Ketika itu tidak ada ulama, cendikiawan, atau ilmuwan yang tidak menghafal al-Qur’an, hadis dan materi-materi dasar lainnya. Meskipun pada masa berikutnya mereka memiliki spesialisasi disiplin ilmu yang berbeda-beda. Lebih dari itu, para ulama dan ilmuan jebolan sistem pendidikan Islam di masa itu banyak yang menjadi ulama interdisipliner karena menguasai beragam bidang keilmuan yang sekarang ini sering diposisikan bersebrangan bahkan berbenturan, agama dan eksak.
Ibnu Jarir ath-Thabari misalnya, memang lebih dikenal sebagai mufassir, muhaddits, ahli fiqih dan ahli sejarah, tapi di antara ratusan jilid karyanya, ath-Thabari masih sempat menulis tentang matematika (ar-Riyadhiyyat) dan kedokteran. Fakhruddin ar-Razi adalah contoh lain yang unik, selain terkenal karena kelihaianya dalam bidang tafsir, fiqih dan ushul, ulama besar ini juga menulis puluhan judul buku tentang, matematika, kedokteran, fisika, astronomi, dan lain sebagainya. Sebaliknya, Ibnu Sina yang lebih dikenal sebagai ahli kedokteran, matematika, dan filsafat, menurut Ibnu Khallikan dalam kitab Wafayatul A`yan, telah menguasai al-Qur’an dengan baik di usia 10 tahun.
Masih sangat banyak ulama dan ilmuwan yang dapat menjadi bukti suksesnya model pendidikan Islam yang mengandalkan hafalan sebagai materi dasar pendidikan sebelum analisa dan praktik. Data dan faktanya dapat dirujuk pada buku-buku tarikh (sejarah), tarajum (biografi), thabaqat, dan semisalnya. Semuanya itu merupakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa pada dasarnya tidak ada benturan antara hafalan dan daya analisa.
Kesimpulan ini diamini oleh Dr. Ahsin Sakho Muhammad. Rektor Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia dibekali Allah dengan sel otak untuk menyimpan memori hafalan. Persoalannya adalah timing hafalan, sebaiknya dilakukan secara intensif di saat masih muda, karena di masa inilah kekuatan hafalan berada pada puncaknya. Sebaliknya setelah mulai tua, kekuatan hafalan menurun tapi daya analisa meningkat.
Menurut Pengasuh Ma`had Darul Quran di Arjawinangun Cirebon ini, hafalan sangat membantu banyak hal. Bagi penghafal al-Qur’an dan pengkaji tafsir, hafalan memudahkannya untuk membandingkan satu ayat dengan ayat lain. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh pengkaji tafsir yang tidak hafal al-Qur’an. Selain itu, seorang hafizh (penghafal) al-Qur’an terlatih untuk sensitif dalam mengaitkan satu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya. Dengan begitu, “Ia akan terhindar dari penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara parsial,” tutur jebolan Pesantren Lirboyo, Kediri ini.
Selain hafalan al-Qur’an, hafalan juga bisa diterapkan pada disiplin-disiplin ilmu lain. Manfaatnya juga tidak kecil. Dengan menghafal beberapa ilmu dasar seperti hadis, qawa`id fiqih, al-jurumiyah, dan sharaf, maka akan mudah menguasai ilmu-ilmu lain. Materi-materi tersebut masih perlu dihapal karena sifatnya sangat mendasar atau dalam tradisi pesantren sering disebut ilmu-ilmu alat. Intinya, menghafal materi-materi tersebut masih sangat relevan, “Rumus Kimia dan Fisika saja dihafal kok, apalagi ilmu keislaman,” Papar Dr. Ahsin. “Karena itu kita yakin dapat mencetak kader yang tangguh lewat tradisi menghafal,” imbuhnya.
Manfaat hafal al-Qur’an untuk memudahkan dan menunjang pembelajaran materi-materi lain dirasakan langsung oleh Dr. Atabik Lutfi, MA. Doktor Tafsir jebolan Universiti Kebangsaan Malaysia yang hafal al-Qur’an di Ma`had Darul Huffazh, Sulawesi Selatan ini mengaku, “Hafal al-Qur’an penting sebagai fondasi untuk menghafal materi-materi lainnya. Itu pengalaman saya sewaktu belajar di (Universitas Islam) Madinah.” Artinya, seseorang yang hafal al-Qur’an akan mudah menghafal materi atau pelajaran yang lainnya.
Apalagi untuk menunjang kajian tafsir, hafalan al-Qur’an mutlak sangat membantu. Meskipun tidak ada keharusan menghafal al-Qur’an bagi pengkaji tafsir, namun hafalan al-Qur’an akan membuat kajian tafsir lebih bagus dan berbobot. Menurut penulis buku Tafsir Tazkiyah ini, “Dalam kajian tafsir ada konsep wahdatul ayat al-Qur’aniyyah (kesatuan makna ayat-ayat al-Qur’an), sehingga ayat-ayat al-Qur’an harus dimengerti secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Jadi, seorang hafizh al-Qur’an akan lebih mudah menafsirkannya.”
Dua tokoh yang juga hafizh di atas tampaknya sepakat, hafalan harus jadi basis kajian. Memang sekadar hafal al-Qur’an saja tetap harus diapresiasi sebagai prestasi. Tapi dalam tatanan pendidikan, hafalan mesti diposisikan sebagai langkah awal menuju tahap lanjutan yang menjadi bidang pengembangannya. Sangat disayangkan jika seorang penghafal al-Qur’an tidak berusaha menguasai dasar-dasar (qawa`id) tafsir, misalnya, untuk dapat  menggali makna-makna al-Qur’an lebih dalam lagi. Apalagi jika dilihat dari praktik pendidikan Islam di masa lalu, hafalan al-Qur’an benar-benar menunjang pengembangan taraf pendidikan dan keilmuan murid, karena al-Qur’an kaya akan kosa kata dan mencakup berbagai dasar bidang keilmuan. Sehingga, setelah hafal al-Qur’an, murid-murid tertarik untuk menyelami bidang-bidang keilmuan yang lebih luas setelah terangsang oleh kosa kata-kosa kata al-Qur’an yang telah mereka hafal itu.
Tentu saja tidak terbatas pada materi al-Qur’an. Hadis pun sama. Prof. Ali Mustafa Yakub, salah seorang pakar hadis Indonesia, menyatakan, “Menghapal hadis memang penting, tapi lebih penting lagi memahaminya.” Menurutnya, ada tiga ilmu dasar hadis yang harus dikuasai untuk dapat memahami suatu hadis dengan baik dan benar, yaitu `Ulumul Hadits, ilmu takhrij, dan ilmu metode memahami hadis. “Orang yang belajar hadis harus belajar tiga komponen tersbut. jika tidak, bisa menimbulkan kekeliruan dalam pemahaman, dan berujung pada pemahaman sesat,” jelas pendiri Darus Sunnah, pesantren khusus ilmu hadis di bilangan Ciputat, Tangerang ini.
Bagaimana cara membangun kembali tradisi hafalan di masa sekarang ini? Jawabannya tidak mudah, mengingat banyak sekali tantangan yang sangat potensial menghambat budaya menghafal. Tapi, bukan berarti tidak mungkin. Pertama, harus ada rangsangan dari orang terdekat, terutama orang tua sehingga anak-anak punya motivasi untuk menghafal. Anak harus diyakinkan bahwa cara ini merupakan langkah yang tepat untuk meraih kesuksesan di masa depan. Ibnu `Atha’ilah as-Sakandari berkata, “Man lam yakun lahu bidayah muhriqah, lam yakun lahu nihayah musyriqah” (Orang yang tidak pernah bersusah payah tidak akan meraih masa depan yang cemerlang).  Kedua, membentuk lingkungan penggemar hafalan melalui jamaah masjid, komunitas terbatas, lingkungan tempat tinggal, atau. Ketiga, menyekolahkan anak di pesantren yang punya basis hafalan yang  kuat. Meskipun dengan catatan harus disesuaikan dengan program kelanjutan dari hafalan tersebut, karena biasanya tidak tersedia secara langsung di lembaga-lembaga itu. Wallahu ta`ala a`lam.