Menghafal merupakan tahap dasar pendidikan yang diterapkan
Rasulullah SAW kepada para sahabat. Setiap kali menerima wahyu, beliau langsung
menyuruh murid-muridnya itu untuk menghafalnya, selain ada beberapa orang yang
ditugaskan untuk mencatat. Dengan pendekatan inilah otentisitas al-Qur’an
terjaga dengan baik hingga dibukukan di masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Begitu juga
Sunnah, karena sepanjang hidup Nabi SAW, tidak banyak Sunnah yang ditulis
melainkan dihafal. Ini sesuai arahan langsung dari Nabi SAW, mengingat di masa
itu pembelajaran para sahabat lebih terfokus kepada al-Qur’an.
Pada perkembangan berikutnya, transmisi Sunnah dilakukan
melalui tradisi periwayatan hingga dibukukan secara sistematis pada masa Umar
bin Abdul Aziz atau sesaat setelahnya. Di masa inilah lahir kitab-kitab hadis
yang terus menjadi rujukan hingga saat ini. Sebut saja al-Muwaththa’
karya Imam Malik, al-Musnad karya Imam Ahmad, al-Jami` ash-Shahih karya Imam
Bukhari, ash-Shahih karya Imam Muslim, al-Mushannaf karya Imam
Abdur Razzaq ash-Shan`ani, dll.
Hafalan, Analisa dan Praktik
Sebagai salah satu tahap pendidikan, menghafal tidak
berdiri sendiri. Artinya, anak didik tidak hanya dibebani materi hafalan, tapi
juga diarahkan untuk mengasah kemampuan analisis dan praktis. Tiga unsur
pendidikan ini jelas terangkum dalam praktik pendidikan Rasulullah SAW ketika
mengajarkan materi al-Qur’an kepada para sahabat. Ibnu Mas`ud, seorang sahabat
senior, berkata, “Ketika kami belajar al-Qur’an, maka kami tidak akan melewati
sepuluh ayat kecuali setelah menguasainya, mengerti dan mengamalkan isinya.”
Gabungan unsur hafalan, pendalaman, dan pengamalan inilah
yang barangkali menyebabkan seorang Umar bin Khaththab, seperti diungkapkan
Imam Malik dalam al-Muwaththa’, memerlukan waktu sekitar 12 tahun untuk
‘mengkhatamkan’ surah al-Baqarah, yang membuatnya begitu bahagia sehingga
langsung menyembelih seekor unta sebagai ungkapan rasa syukur.
Umar bin Khaththab yang kemudian sukses sebagai salah satu
pemimpin terbesar sepanjang masa, lahir dari tradisi pendidikan tersebut. Kisah
sukses lainnya ditunjukkan oleh Zaid bin Tsabit. Sekretaris Nabi SAW ini hafal
al-Qur’an di usia belasan tahun dan berhasil menguasai lebih dari empat bahasa
internasional pasa masa itu; Ibrani, Romawi, Persia, dan Habasyah, untuk
menunjang profesinya.
Melahirkan Ulama-Intelek
Model pendidikan Islam yang mengandalkan hafalan sebagai
tahap dasar yang diterapkan kepada murid ini terus berlanjut di masa-masa
kegemilangan peradaban Islam. Ketika itu tidak ada ulama, cendikiawan, atau
ilmuwan yang tidak menghafal al-Qur’an, hadis dan materi-materi dasar lainnya.
Meskipun pada masa berikutnya mereka memiliki spesialisasi disiplin ilmu yang
berbeda-beda. Lebih dari itu, para ulama dan ilmuan jebolan sistem pendidikan
Islam di masa itu banyak yang menjadi ulama interdisipliner karena menguasai
beragam bidang keilmuan yang sekarang ini sering diposisikan bersebrangan
bahkan berbenturan, agama dan eksak.
Ibnu Jarir ath-Thabari misalnya, memang lebih dikenal
sebagai mufassir, muhaddits, ahli fiqih dan ahli sejarah, tapi di
antara ratusan jilid karyanya, ath-Thabari masih sempat menulis tentang
matematika (ar-Riyadhiyyat) dan kedokteran. Fakhruddin ar-Razi adalah
contoh lain yang unik, selain terkenal karena kelihaianya dalam bidang tafsir,
fiqih dan ushul, ulama besar ini juga menulis puluhan judul buku tentang,
matematika, kedokteran, fisika, astronomi, dan lain sebagainya. Sebaliknya,
Ibnu Sina yang lebih dikenal sebagai ahli kedokteran, matematika, dan filsafat,
menurut Ibnu Khallikan dalam kitab Wafayatul A`yan, telah menguasai
al-Qur’an dengan baik di usia 10 tahun.
Masih sangat banyak ulama dan ilmuwan yang dapat menjadi
bukti suksesnya model pendidikan Islam yang mengandalkan hafalan sebagai materi
dasar pendidikan sebelum analisa dan praktik. Data dan faktanya dapat dirujuk
pada buku-buku tarikh (sejarah), tarajum (biografi), thabaqat,
dan semisalnya. Semuanya itu merupakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa pada
dasarnya tidak ada benturan antara hafalan dan daya analisa.
Kesimpulan ini diamini oleh Dr. Ahsin Sakho Muhammad.
Rektor Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia
dibekali Allah dengan sel otak untuk menyimpan memori hafalan. Persoalannya
adalah timing hafalan, sebaiknya dilakukan secara intensif di saat masih
muda, karena di masa inilah kekuatan hafalan berada pada puncaknya. Sebaliknya
setelah mulai tua, kekuatan hafalan menurun tapi daya analisa meningkat.
Menurut Pengasuh Ma`had Darul Quran di Arjawinangun
Cirebon ini, hafalan sangat membantu banyak hal. Bagi penghafal al-Qur’an dan
pengkaji tafsir, hafalan memudahkannya untuk membandingkan satu ayat dengan
ayat lain. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh pengkaji tafsir yang tidak hafal
al-Qur’an. Selain itu, seorang hafizh (penghafal) al-Qur’an terlatih
untuk sensitif dalam mengaitkan satu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya.
Dengan begitu, “Ia akan terhindar dari penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara
parsial,” tutur jebolan Pesantren Lirboyo, Kediri ini.
Selain hafalan al-Qur’an, hafalan juga bisa diterapkan
pada disiplin-disiplin ilmu lain. Manfaatnya juga tidak kecil. Dengan menghafal
beberapa ilmu dasar seperti hadis, qawa`id fiqih, al-jurumiyah,
dan sharaf, maka akan mudah menguasai ilmu-ilmu lain. Materi-materi tersebut
masih perlu dihapal karena sifatnya sangat mendasar atau dalam tradisi
pesantren sering disebut ilmu-ilmu alat. Intinya, menghafal materi-materi
tersebut masih sangat relevan, “Rumus Kimia dan Fisika saja dihafal kok,
apalagi ilmu keislaman,” Papar Dr. Ahsin. “Karena itu kita yakin dapat mencetak
kader yang tangguh lewat tradisi menghafal,” imbuhnya.
Manfaat hafal al-Qur’an untuk memudahkan dan menunjang
pembelajaran materi-materi lain dirasakan langsung oleh Dr. Atabik Lutfi, MA.
Doktor Tafsir jebolan Universiti Kebangsaan Malaysia yang hafal al-Qur’an di
Ma`had Darul Huffazh, Sulawesi Selatan ini mengaku, “Hafal al-Qur’an penting
sebagai fondasi untuk menghafal materi-materi lainnya. Itu pengalaman saya
sewaktu belajar di (Universitas Islam) Madinah.” Artinya, seseorang yang hafal
al-Qur’an akan mudah menghafal materi atau pelajaran yang lainnya.
Apalagi untuk menunjang kajian tafsir, hafalan al-Qur’an
mutlak sangat membantu. Meskipun tidak ada keharusan menghafal al-Qur’an bagi
pengkaji tafsir, namun hafalan al-Qur’an akan membuat kajian tafsir lebih bagus
dan berbobot. Menurut penulis buku Tafsir Tazkiyah ini, “Dalam kajian
tafsir ada konsep wahdatul ayat al-Qur’aniyyah (kesatuan makna ayat-ayat
al-Qur’an), sehingga ayat-ayat al-Qur’an harus dimengerti secara utuh, tidak
sepotong-sepotong. Jadi, seorang hafizh al-Qur’an akan lebih mudah
menafsirkannya.”
Dua tokoh yang juga hafizh di atas tampaknya
sepakat, hafalan harus jadi basis kajian. Memang sekadar hafal al-Qur’an saja
tetap harus diapresiasi sebagai prestasi. Tapi dalam tatanan pendidikan,
hafalan mesti diposisikan sebagai langkah awal menuju tahap lanjutan yang
menjadi bidang pengembangannya. Sangat disayangkan jika seorang penghafal
al-Qur’an tidak berusaha menguasai dasar-dasar (qawa`id) tafsir,
misalnya, untuk dapat menggali makna-makna
al-Qur’an lebih dalam lagi. Apalagi jika dilihat dari praktik pendidikan Islam
di masa lalu, hafalan al-Qur’an benar-benar menunjang pengembangan taraf
pendidikan dan keilmuan murid, karena al-Qur’an kaya akan kosa kata dan
mencakup berbagai dasar bidang keilmuan. Sehingga, setelah hafal al-Qur’an,
murid-murid tertarik untuk menyelami bidang-bidang keilmuan yang lebih luas
setelah terangsang oleh kosa kata-kosa kata al-Qur’an yang telah mereka hafal
itu.
Tentu saja tidak terbatas pada materi al-Qur’an. Hadis pun
sama. Prof. Ali Mustafa Yakub, salah seorang pakar hadis Indonesia, menyatakan,
“Menghapal hadis memang penting, tapi lebih penting lagi memahaminya.”
Menurutnya, ada tiga ilmu dasar hadis yang harus dikuasai untuk dapat memahami
suatu hadis dengan baik dan benar, yaitu `Ulumul Hadits, ilmu takhrij,
dan ilmu metode memahami hadis. “Orang yang belajar hadis harus belajar tiga
komponen tersbut. jika tidak, bisa menimbulkan kekeliruan dalam pemahaman, dan
berujung pada pemahaman sesat,” jelas pendiri Darus Sunnah, pesantren khusus
ilmu hadis di bilangan Ciputat, Tangerang ini.
Bagaimana cara membangun kembali tradisi hafalan
di masa sekarang ini? Jawabannya tidak mudah, mengingat banyak sekali tantangan
yang sangat potensial menghambat budaya menghafal. Tapi, bukan berarti tidak
mungkin. Pertama, harus ada rangsangan dari orang terdekat, terutama
orang tua sehingga anak-anak punya motivasi untuk menghafal. Anak harus
diyakinkan bahwa cara ini merupakan langkah yang tepat untuk meraih kesuksesan
di masa depan. Ibnu `Atha’ilah as-Sakandari berkata, “Man lam yakun lahu
bidayah muhriqah, lam yakun lahu nihayah musyriqah” (Orang yang tidak
pernah bersusah payah tidak akan meraih masa depan yang cemerlang). Kedua, membentuk lingkungan penggemar
hafalan melalui jamaah masjid, komunitas terbatas, lingkungan tempat tinggal,
atau. Ketiga, menyekolahkan anak di pesantren yang punya basis hafalan
yang kuat. Meskipun dengan catatan harus
disesuaikan dengan program kelanjutan dari hafalan tersebut, karena biasanya
tidak tersedia secara langsung di lembaga-lembaga itu. Wallahu ta`ala a`lam.